Aku Dilihat dari Sekarang di Masa Depan
Sejujurnya, jika bukan karena lomba ini, aku tidak mengenal tentang Jasmine Elektrik. Karena aku penasaran, akhirnya aku streaming sebentar, mampir di channel youtube-nya, dan video yang muncul adalah lagu Ibu.
Source : Youtube
Kudengarkan, lagu yang kesannya menggugah semangat karena beats di setiap ketukan melodi lagunya. Di sisi lain, lirik lagunya yang membuatku sadar. Tempatku sekarang, keadaan, dan kondisi yang jauh dari orang tuaku, membuatku mengingat tentang seseorang yang telah begitu lama hidup dalam kenangan. Ibu.
Ada hal dalam kehidupan ini yang membuat kita sedih juga senang. Sebenarnya semua itu tergantung dari persepsi yang ada dalam diri kita ketika menghadapi suatu problematika. Hingga saat ini, aku masih dalam proses meraih apa yang kuimpikan. Terkadang, ada beberapa saat dimana aku merasa sangat terpuruk dengan sesuatu yang menghadang jalanku. Bahkan sempat mengalami depresi, putus asa, dan juga tak ingin lagi bermimpi. Karena suatu ambisi adalah hal yang cukup menyakitkan.
Ada hal dalam kehidupan ini yang membuat kita sedih juga senang. Sebenarnya semua itu tergantung dari persepsi yang ada dalam diri kita ketika menghadapi suatu problematika. Hingga saat ini, aku masih dalam proses meraih apa yang kuimpikan. Terkadang, ada beberapa saat dimana aku merasa sangat terpuruk dengan sesuatu yang menghadang jalanku. Bahkan sempat mengalami depresi, putus asa, dan juga tak ingin lagi bermimpi. Karena suatu ambisi adalah hal yang cukup menyakitkan.
Semuanya bermula dan problematika yang semakin kompleks bermunculan ketika aku mulai bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Bermula dari bidang yang tidak sejiwa dengan hati dan berbagai masalah yang mewarnai di setiap titian langkah yang kuambil. Aku hidup jauh dari orang tuaku, merantau pergi jauh bersama suamiku, bekerja sambil menyelesaikan jenjang kuliah. Ada banyak momen yang membuatku benar-benar putus asa, ingin menyerah, tak ingin lagi bermimpi, dan aku terus-menerus tenggelam dalam keterpurukan. Mulai dari rasa tidak dihargai, dikucilkan, kesendirian, tekanan dari Bapak sebab pengharapan yang begitu tinggi terhadap diriku, beberapa teman kerja yang iri dengan promosi jabatan yang kuterima begitu cepatnya, dan lainnya yang semua itu membuatku benar-benar merasa down.Pandangan yang bisa kulihat hanyalah warna kelabu, setiap langkahku terasa kaku, sukmaku meronta pilu.
Ketika itu hari libur kerja, aku membersihkan buku-buku, merapikan rak di ruangan khusus membaca di rumahku. Ruangan yang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk sekedar melepas penat dengan membaca beberapa buku. Di sela-sela aku membersihkannya, terkadang aku berhenti sebentar membaca buku yang menurutku menarik karena buku itu terkesan usang dan jadul. Apalagi aku orangnya sangat suka dengan hal-hal tempo dulu. Jika sudah mulai bosan membacanya, maka aku lanjut lagi bersih-bersih. Hingga aku menemukan sebuah buku, Ya, buku harianku yang dulu kutulis sejak masuk SMK dan terisi penuh sampai aku lulus SMK. Karena aku tertarik dan sedikit penasaran dengan masa-masaku dulu, aku membukanya dan mulai membacanya.
Terkadang aku tertawa dalam hatiku sebab tulisanku yang benar-benar lucu dan kupikir itu memang wajar karena dulu aku masih masa-masa SMA. Namun, semakin lembar ke belakang, tulisan yang aku torehkan terkesan semakin menyedihkan. Sontak, aku teringat dengan masa-masa itu, satu lembar dalam buku itu membuatku benar-benar mengingatnya. Aku dulu mengalaminya, problematika yang sama seperti yang kuhadapi sekarang hingga dulu aku sempat depresi. Ingatan itu mulai mencuat kembali dalam pikiranku setelah lama terkubur hingga tidak lagi muncul.
Aku membacanya, terus tenggelam dalam tulisan yang menggambarkan duniaku dulu. Dunia dimana aku dulu menjalani hal yang bukan dari pilihanku. Keputusan yang diambil oleh ayahku yang harus aku jalani. Kebiasaanku yang suka memendam emosi, semuanya melebur dalam tulisanku. Namun, emosi itu tidak sekedar terpendam karena pada akhirnya aku mengeluarkan itu semua ketika aku ada di perpustakaan saat acara pengambilan rapor. Prestasiku turun. Aku semula sudah berekspektasi mengenai prestasiku yang cenderung akan mengecewakan, dan ekspekstasi yang kupunya tidak pernah meleset. Tetapi berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang mungkin mereka kecewa dan marah padaku. Waktu itu ibuku yang mengambil rapor lantas mendekat padaku tidak marah, dan memang tidak akan marah, tersenyum. Biasanya, bapak yang akan memarahiku. Akan tetapi, entah karena alasan apa, bapak tidak marah pula padaku dan aku berpikir mungkin itu semua karena ibuku. Alasannya karena ketika di perpustakaan, aku meluapkan semuanya, semua emosi yang kupendam jauh dalam sukma. Aku yang menimba ilmu bukan dari dalam hatiku. Aku lega mereka tidak marah, namun justru tidak marah itu lebih menyakitkan menurutku.
Tetapi, aku benar-benar menjadi orang yang sangat menyesal saat itu. Sebab itu semua mengingatkanku, tak seharusnya seperti itu. Mana rasa terima kasihku untuk mereka. Meski mereka memaksaku, tetapi mungkin bukan itu maksud mereka. Mereka hanya ingin yang terbaik untukku. Tapi, hanya caranya saja yang kurang benar. Ada banyak kenangan di sana, semua itu membuatku merasa sudah buruk menjadi anak. Mulai dari cerita sekolah, pengorbanan biaya sekolah yang tidak sedikit. Jika dihitung sejak aku lahir hingga sekarang, bisakah digit kalkulator menyelesaikannya ?
Source : Dokumen Pribadi
Mulai dari malam itu, selepas aku acara bakar-bakar jagung di ponpes, gigiku kumat. Karena itu hari bebas, aku boleh membawa HP. Aku telepon orang tuaku. Ibuku mengangkatnya dengan nada suara yang masih mengantuk. Ketika aku menceritakan bahwa aku sakit sambil tersedu-sedu menahan sakitnya gigiku yang tak bisa diajak kompromi. Ibuku benar-benar khawatir. Menanyaiku banyak hal. Kuingat waktu itu, jam menunjukkan 11:37 pm, dan ibuku mengatakan bahwa bapak akan pergi ke tempatku, menjemputku. Lantas, aku tak bisa berkata-kata ketika aku sudah di boncengan bapak karena aku sudah berusaha menolaknya, namun tetap saja ibuku memaksa. Malam itu, pukul 12 malam tepat, aku menangis di sepanjang jalan. Ya Allah, padahal hamba hanya berniat cerita saja, bukan meminta hal ini. Tangisku membasahi pipiku di sepanjang jalan, mulutku berkomat-kamit, mendoakan bapak dan ibu yang memberikan banyak pengorbanan untukku hingga seperti ini. Sebab, jarak dari rumah ke ponpes tidaklah dekat, butuh waktu satu setengah jam untuk tiba. Jika bukan karena ibuku, mungkin aku akan menghabiskan malam itu terus menangis. Sebetulnya aku memang menangis, bukan karena sakit gigi lagi, melainkan karena rasa kagum dan haru terhadap kedua orang tuaku.
Source : Documen Pribadi
Baru setengah halaman aku membacanya, aku sudah tak kuasa menahan tangisku. Kutengadahkan kepalaku ke atas berusaha agar air mataku tidak jatuh, namun apa daya, aku sudah terlanjur terbawa oleh arus kehidupan dulu yang kutulis dalam bukuku. Walaupun begitu, aku masih tetap membacanya. Aku ingin tahu, apa yang kuputuskan setelahnya. Apakah aku lanjut atau justru menyerah saat itu. ketika kubalik halaman itu, foto ibuku terpampang dalam lembaran itu, dengan kata-kata yang diucapkannya saat itu. Entah mengapa ketika aku membacanya, suaranya terngiang-ngiang sangat jelas dalam pikiranku. Suaranya ketika menasihatiku saat itu.
Source : http://binaswadaya.org/id/2018/08/08/hidupkan-lilin-lilin-kecil-untuk-menerangi-nusantara/
“Kamu tahu, An, kamu itu seperti lilin… menerangi yang lain, tapi membakar dirimu sendiri. Menolong orang lain, suka membantu orang lain, tapi ketika kamu butuh bantuan, temanmu malah berpaling. Ingat pesan ibu, carilah banyak teman. Tetapi, kamu juga harus punya, walau tak banyak, cukup satu orang saja, seseorang yang akan menjadi tempatmu bercerita, bercanda tawa, meluapkan suka duka, mendorong dan mensupport ketika ada masalah. Carilah orang seperti itu, seseorang yang bisa kamu jadikan shohabat, seperti halnya dulu Nabi dengan Abu Bakar. Jadi, kamu bisa mengandalkannya selain bapak dan ibu, apalagi ketika kami sudah tiada.”
Lantas, aku menangis di pelukannya. Merasakan kekecewaan dan kesedihan yang selama ini menggulung hatiku secara perlahan. Hingga kejenuhan ini menghancurkanku. Namun, seakan ibuku yang memberikan sebuah benang yang menyelamatku dari keterpurukan itu. Seakan ini seperti cerita Kumo no Ito. Hari itu, aku tenggelam dalam tangisku.
Aku penuh penyesalan saat itu, sebab aku merasa di SMK bukanlah tempatku. Aku merasa sia-sia sebab bakatku tidak terasah dan menjadi tidak berharga. Walau aku menjadi juara pararel, namun itu tetap tidak memiliki nilai karena ketika bersaing di luar, tetap saja gagal menjadi yang teratas. Lantas, ibuku mengatakan, “Ini semua sudah takdir Allah. Nduk, Ingat, jangan menyesali apa yang sudah kamu jalani. Kamu tahu, rencana Allah itu jauh lebih baik daripada yang kamu duga. Pasti ada maksud tersendiri Allah memasukkan kamu ke sekolah itu. Coba pikirkan, nduk, contohnya dulu jika bapak nggak lari tes kesehatan di Kepolisian, dan sekarang Bapak jadi polisi, atau mungkin jika dulu Bapak jadi kuliah dokter di UGM yang belum tentu Bapak bisa lulus karena tidak ada biaya. Walaupun sudah masuk ke kedokteran, tapi apa bapak bisa keluar. Akhirnya Bapak mencoba membuka usaha sendiri menjadi tukang speed sepeda motor. Ya, walaupun memang awalnya banyak cobaan, sepi pelanggan, tapi bapak tetap berusaha teguh nduk. Dan alhamdulillah sekarang bisa punya rumah sendiri. Kira-kira jika dulu Bapak jadi polisi, bisa biayai sekolah kamu dan adikmu sekarang yang bahkan gajinya polisi takkan cukup untuk membiayai itu semua. Kamu tahu, nduk, rencana Allah itu jauh lebih baik. Allah tahu mana yang terbaik buat masa depan kita. Jadi, jangan sampai kamu terlena oleh keterpurukan sekarang. Karena kita tak tahu, apa sebenarnya yang hendak Allah rencanakan.”
"Sukses itu bukan berarti kamu punya banyak uang, kamu berada di atas semua orang, hartamu berlimpah, tetapi, ingat nduk, bahagia itu ketika kamu senang dengan apa yang kamu lakukan dan bisa membagi kebahagiaan itu dengan orang-orang sekitar kamu. Percaya sudah sama kata-kata ibu. Kalau tidak percaya, coba saja !"
Aku sungguh pilu mengingatnya. Tak seharusnya aku seperti ini. Kemudian, aku segera menyelesaikan bersih-bersihnya. Masih dengan air mataku yang terus mengalir, aku terus-menerus mengingat tentang ibu dan bapak. Aku memutuskan untuk terus bekerja dan mengasah kemampuanku. Mungkin Allah sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik dan mengasah diriku agar lebih siap untuk menerimanya. Menajamkan diriku dengan berbagai bentuk cobaan, sebelum memberikan hadiahnya. Itulah yang kupikirkan.
Lantas, tak lama suamiku pulang dari bekerja. Ia sif malam sehingga pagi ini baru pulang. Ia masuk dan melihatku yang menangis, kemudian bertanya padaku. Aku tak kuasa menjawabnya. Aku memeluknya dan menanyakan padanya apa bisa pulang kampung hari ini. Apalagi hari-hari ini cuti bekerja karena ada hari besar. Aku bersyukur, suamiku seseorang yang bijaksana dan pengertian. Rasa hangatnya mampu membuatku tenang.
Sore ini, kami berangkat untuk pulang ke kampung halaman. Tiba disana, aku menangis sejak keluar dari mobil. Bertemu bapak di ambang pintu dan langsung memeluknya. Suamiku hanya tersenyum melihatku. Terima kasih, bapak ibu, aku akan membuat kalian bahagia dan berbakti yang luhur lebih dari apapun untuk kalian. Di dalam rumah, aku tak kuasa menahan tangisku. Di depan foto ibu, aku sungguh rindu ingin bertemu. Seandainya masih ada kesempatan untuk bertemu dengannya, aku ingin mengucapkannya sekali lagi. Terima kasih banyak yang tak terkira… entah apa yang bisa aku berikan untuk membalasnya, namun, apapun takkan cukup untuk mengganti kasih sayangmu, Ibu. Bukan hanya di hari ibu aku memberikan hadiah untukmu. Karena bagiku hadiah terbaik adalah doa yang setiap saat kupanjatkan untuk kalian. Bapak dan ibu, terima kasih. Kasih sayang kalian takkan pernah terganti.
Ibuku adalah seseorang yang tak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata. Ia adalah seseorang yang akan selalu ada dalam setiap sendi kehidupanku. Walau ia mungkin telah tiada, namun ia akan selalu hidup dalam sukma. Mengisi setiap jemari kehidupan kami.
Ibuku mengatakan, kalau kita tidak mampu meluapkan emosi kita, kita bisa menuliskannya. Maka dari itu, aku menulis buku harian itu sejak masuk SMK. Awalnya aku tidak tahu, apa ya, kira-kira manfaatnya. Padahal kalau hanya menulis seperti ini, mungkin suatu saat aku tidak akan ingat lagi bagaimana suasananya dulu. Rupanya, inilah maksud ibu. Pembelajaran yang aku dapatkan dulu, bisa menjadi bekalku saat ini. Ketika aku lupa, maka buku ini menjadi pengingatnya. Terima kasih ibu, atas semuanya terima kasih. Seandainya ada hal yang bisa kuberikan lebih dari itu, aku rela dan akan berkorban untuk memberikannya…
#JasmineElektrikCeritaIBU
Untuk kalian, jangan sampai kalian sia-siakan kehidupan kalian. Selagi ibu kalian masih ada, itu kesempatan kalian untuk memberikan yang terbaik untuk ibu kalian. Kalau tidak, kalian pasti akan menyesalinya ketika ibu kalian telah tiada. Ingat, kasih sayang ibu tidak terbantahkan waktu. Selagi masih ada kesempatan, gunakanlah kesempatan itu. Tak ada kesempatan kedua !
No comments for "Aku Dilihat dari Sekarang di Masa Depan"
Post a Comment