Pengenalan Kearifan Lokal melalui Pustaka Literasi dan Budaya Membaca 15 Menit

Membudayakan Literasi selama 15 Menit

Fakta yang sudah diketahui umum bahwasanya masyarakat saat ini lebih memilih membaca di internet. Berjam-jam memandang layar gadget atau monitor daripada mengunjungi tempat-tempat membaca. Banyak pula orang yang mendownload ebook di internet sebagai bahan bacaan yang dinilai lebih ekonomis karena gratis. Hal ini tentu saja menarik banyak minat masyarakat untuk membaca online daripada membeli buku. Padahal perbandingan membaca buku dengan membaca di internet memiliki keunggulan yang berbeda. Meskipun lebih ekonomis membaca di internet, namun pernahkan pembaca sekalian memikirkan dampak yang ditimbulkan terhadap mata kita yang terpapar radiasi berjam-jam. Murah mana, harga buku atau kah penglihatan kita ?
Salah satu upaya yang sudah digalakkan pemerintah untuk dilaksanakan daerah-daerah di Indonesia ialah GLS (gerakan literasi sekolah). Komitmen membaca buku bacaan non pelajaran selama 15 menit memberikan perkembangan baik untuk budaya literasi khususnya daerah Lumajang. Di Indonesia, ada beberapa penghargaan nasional yang rutin diapresiasikan pada daerah-daerah lokal, khususnya penghargaan minat baca dan budaya literasi masyarakat dalam daerah tersebut.
Kabupaten Lumajang pernah menggaet peringkat dua nasional kabupaten dengan budaya literasi terbaik pada tahun 2017. Komitmen terkait penerapan upaya GLS tersebut tertuang dalam keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang Nomor 421/8408.4/427.34/2015 tentang pembiasaan membaca dan menulis pada Satuan Pendidikan dan diperkuat Keputusan Bupati Lumajang nomor 188.45/387/427.12/2015 tentang Tim Penyelenggara Lumajang Beliterasi.
Cindy Vionariska, pustakawati di Perpustakaan Daerah Lumajang juga mengungkapkan hal serupa. Meskipun Lumajang memeroleh predikat juara nasional 2, hal tersebut masih belum dikategorikan bahwa minat baca masyarakat tinggi. Hal ini dikarenakan perbandingan yang disajikan dalam persentase menunjukkan angka yang kecil, berbanding jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Ini hanya di Lumajang, kota dengan predikat terbaik 2 Nasional setelah Kabupaten Serdang, lantas bagaimana dengan daerah lain di Indonesia ?
Komitmen tersebut sebenarnya dinilai masih belum menunjang seluruh kebutuhan literasi pembaca masa kini. Selain itu, dalam progress membaca 15 menit hanya ‘memaksa’ siswa membaca buku bacaan yang cenderung berbentuk prosa, sastra, dan sebagainya. Mayoritas bahan bacaan dalam pelaksanaan program tersebut hanyalah sastra masa kini. Tentu saja, apabila memaksa siswa membaca suatu bacaan yang bersifat arkais dan kedaerahan, maka kegiatan membaca cenderung membosankan.
Media literasi dapat menjadi salah satu sarana penting sebagai media sosialisasi dan promosi. Media literasi itu sendiri tidak terbatas pada buku bacaan semata, tetapi banyak macamnya. Menurut Potter, W.J. (2005), mengungkap bahwa media literasi didefinikan satu set perspektif yang aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna pesan yang kita hadapi. Sedangkan Mc Cannon mengartikan media literasi sebagai efisien memahami dan menggunakan komunikasi massa.
Melihat fakta bahwa masyarakat sekarang yang mulai aktif bersosial media, memilih membaca ebook atau sekedar browsing secara online, maka media ini menjadi salah satu sarana yang cukup efektif dalam rangka mengenalkan budaya-budaya lokal atau daerah masyarakat Indonesia yang kenyataannya mulai banyak dilupakan dan ditinggalkan. Maka diperlukan sebuah sosialisasi pengenalan budaya kearifan lokal untuk menjaga budaya tersebut tetap lestari.
Seperti halnya Lumajang yang memiliki beberapa budaya daerah seharusnya sudah lumrah dikenal masyarakatnya. Misalnya, Tari Bedhaya atau bedhoyo, tari kreasi yang dimodfikasi dengan kebudayaan Lumajang untuk menyambut tamu atau sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, sudah seharusnya melekat dalam pengetahuan masyarakatnya karena tarian ini sudah menjadi icon tari daerah Lumajang. Selain itu, ada pula Jaran Slining Lumajang, tari kesenian Lumajang yang menggunakan keranjang dihias sedemikian rupa sehingga terlihat sedang menaiki kuda, dan ciri budaya lain-lain. Namun faktanya, ketika mereka kembali ditanya, cenderung beberapa hanya akan geleng kepala. Hal serupa mungkin saja atau bahkan memang terjadi di daerah lain.
Generasi sekarang yang rata-rata cenderung memahami informasi kekinian, terkadang mereka tidak mengetahui ciri khas yang ada di daerahnya sendiri, semisal budaya lokal. Kearifan lokal masih terdengar asing dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita menanyakan secara langsung, “budaya apa saja yang mungkin kalian kenal di daerah kalian ?” Mayoritas pelajar hanya akan menggeleng. Ini menjadi salah satu kendala yang harus diatasi mengingat budaya literasi memang meningkat namun masih dalam tahap berkembang dan itu pun masih terbatas pada bahan bacaan sastra modern.
Kekayaan budaya milik negeri sendiri sangat penting untuk dilestarikan. Utamanya bagi generasi muda yang hidup menggantikan generasi sebelumnya. Ketika budaya kita yang seharusnya milik kita, kemudian direbut oleh negara lain, disitulah kebanyakan masyarakat, utamanya para pelajar geram. Informasi yang cepat diketahui khalayak sebab menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Inilah kekurangan masyarakat saat ini. Mereka tidak mau membudayakan atau pun melestarikan kebudayaannya sendiri, namun ketika icon budaya kita tersebut diambil negeri orang, barulah mereka menciut geram. Siapa yang harus disalahkan ?
Untuk memelajari dan melestarikan budaya-budaya lokal itu sebenarnya cukup mudah, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membaca, membeli buku atau pergi ke perpustakaan budaya, wawancara langsung dengan penggiat budaya lokal, mengunjungi museum, dan lain-lain. Hal tersebut mudah saja dilakukan bagi yang memiliki finansial mendukung. Lantas, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki bekal finansial yang mencukupi ? Mecukupi kebutuhan sekolah saja kesusahan apalagi untuk membeli buku ! Maka disinilah peran berbagai pihak untuk mendukung upaya budaya literasi bernuansa kearifan lokal perlu ditumbuhkan.
Pengenalan budaya lokal akan menjadi lebih mudah melalui literasi dan bahan bacaan. Buku dapat menjadi sarana unggul mengenalkan beberapa kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah. Untuk itulah, mengenalkan beberapa budaya daerah masing-masing kepada pelajar sejak dini menjadi poin utama yang hendaknya bisa dilaksanakan.
Ada kalanya program 15 menit membaca diselingi dengan buku-buku yang khusus membahas budaya-budaya lokal tidak hanya terbatas pada buku non pelajaran yang umumnya berupa novel, prosa, dan sejenisnya. Mungkin kebiasaan pengenalan ini bisa pula disampaikan secara lisan oleh guru yang hendak mengajar dengan membawa beberapa ilustrasi, sehingga bahan bacaan yang dihadapkan pada siswa bisa sedapat mungkin dicerna secara utuh melalui praktikal langsung oleh guru.
Untuk menciptakan kecintaan pelajar dan anak-anak usia dini dalam membaca, maka buku perlu didesain sesuai dengan usia mereka. Bahkan untuk anak-anak usia remaja pun boleh disertai ilustrasi bergambar. Remaja pun terkadang merasa jenuh membaca bahan bacaan yang isinya hanya semata tulisan. Misal desain buku untuk anak SD berbeda dengan anak SMA. Bisa saja untuk anak SD lebih didesain full colour. Desain yang menyenangkan akan membuat pembaca betah dengan buku yang dibacanya.
Permasalahan lain yang umum di Indonesia adalah minimnya publik untuk ruang baca. Di daerah Lumajang contohnya, hanya ada empat perpustakaan daerah yang rata-rata terletak jauh dari desa apalagi pelosok. Padahal perpustakaan menjadi salah satu sarana untuk mengembangkan wawasan masyarakat, tidak hanya untuk warga kota, warga pedesaan pun juga membutuhkannya. Perpustakaan harus lebih dikembangkan mengingat perpustakaan di Indonesia dan daerah-daerah kecil khususnya hanya didesain untuk tempat membaca. Berkembangnya teknologi akan menggerus dan bisa saja menggantikan peran perpustakaan sebagai tempat baca apabila tidak segera dilakukan pembenahan. Perpustakaan dapat dikembangkan menjadi tempat baca yang menyenangkan, khususnya untuk pembaca anak-anak dan remaja. Perpustakaan dilengkapi dengan fasilitas seperti kafe, Wifi, alat percobaan, tempat diskusi, tempat pengembangan budaya, galeri, dan sebagainya, sehingga fungsinya tidak hanya sekedar monoton dan bisa menarik minat pelajar dan masyarakat untuk membaca. Selain itu, keterbatasan pustaka di Indonesia adalah kebanyakan perpustakaan terletak di daerah, sehingga bagi penduduk daerah pelosok akan sangat terbatas dalam mencari bahan bacaan. Inilah yang perlu digalakkan dan pengembangan tempat baca yang bisa mencakup seluruh wilayah termasuk daerah pelosok.
Dari sini, peran perpustakaan tidak hanya sebatas tempat membaca, tetapi juga memupuk berbagai kegiatan yang mendukung pengetahuan seperti diskusi, pengembangan komunitas budaya lokal dan daerah, bahkan bisa dilengkapi galeri untuk pengenalan koleksi-koleksi kearifan lokal.
Djamaludin Husata di kompasiana pernah menuliskan,”Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya.” Tidak mungkin buku-buku yang kita tata di rumah, di perpustakaan manapun bisa mentransfer ilmu pada kita kecuali kita membacanya. Tiada jalan lain untuk memeroleh ilmu kecuali membaca. Selain membaca, kita bisa menuliskannya. Oleh karena itu, untuk menarik minat kaum milenial yang haus kompetisi, maka dapat pula mengadakan sebuah event tahunan dimana seorang pelajar menulis beberapa artikel, bisa berupa opini, esai, atau pun artikel populer lain terkait kebudayaan daerahnya. Kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi katalog budaya dan diarsipkan di perpustakaan daerah. Hal ini akan menumbuhkan semangat literasi, menggali informasi, dan juga ada upaya pelestarian budaya dalam proses membuat karya tulis tersebut. Karya tulis mereka pun bisa dijadikan bahan literasi untuk generasi mendatang. Ini yang dinamakan menangkap dua burung dengan satu umpan.
Budaya daerah yang mulai usang dari pemikiran para pelajar, sudah seharusnya digalakkan kembali untuk lebih dikembangkan dan dilestarikan. Upaya-upaya ini tidak hanya dari pihak pelajar, guru, atau pun pemerintah, melainkan peran seluruh lapisan masyarakat juga diperlukan dalam rangka melestarikan budaya lokal daerah masing-masing sehingga dapat menjajaki lebih dalam.


No comments for "Pengenalan Kearifan Lokal melalui Pustaka Literasi dan Budaya Membaca 15 Menit"