Apa yang Terbaik dari Sebuah Tulisan? Perspektif Pembaca atau Idealisme Pengarang?
Saya selalu memikirkan gaya menulis yang selama ini selalu saya
terapkan ketika menulis sebuah karya. Profesi saya yang menggeluti dunia
kepenulisan mulai dari freelancer, jockey writer, content writer, penulis
buku, dan pastinya seorang blogger selalu memikirkannya. Tentu saja, hal ini
pasti pernah dialami seorang penulis di kala proses mendalami dunia
kepenulisan. Ada baik dan juga susahnya. Saya juga selalu menghadapi pemikiran
itu sepanjang waktu. Ketika tidak mampu lagi saya bendung, saya akan alirkan semua
perasaan terpendam itu dalam karya-karya saya. Beberapa antologinya baik
cerpen, puisi, atau artikel remaja dan opini bisa anda temui di buku yang
diterbitkan Penerbit Ellunar, Tulis.me, Qureta, Sualla Media, Jejak Publisher,
dan beberapa penerbit Mayor.
Sayangnya, menelisik lebih dalam tentang dunia kepenulisan itu sendiri, saya sering dihantui pemikiran ini. Apa yang terbaik dari sebuah tulisan? Mengapa buku-buku terbitan penulis pemula susah berkembang di Indonesia?
Sayangnya, menelisik lebih dalam tentang dunia kepenulisan itu sendiri, saya sering dihantui pemikiran ini. Apa yang terbaik dari sebuah tulisan? Mengapa buku-buku terbitan penulis pemula susah berkembang di Indonesia?
Yap, saya selalu memikirkan hal itu karena saya sendiri juga
termasuk penulis pemula. Terutama yang menjadi
pandangan saya dari sebuah karya fiksi adalah pendalaman cerita, pemilihan
bahasa atau diksi, serta penguraian tema cerita. Statistik Arsip Perpustakaan
Nasional mengungkapkan buku-buku yang masuk dan menjadi agenda kepenulisan cenderung menarik
cerita dari segi pendangan remaja milenial. Gaya bahasa yang digunakan juga
lebih ringan dan bahasa yang sudah umum digunakan kehidupan sehari-hari. Hal
ini sangat berbeda dengan gaya kepenulisan karya-karya bersejarah.
Saya sendiri tidak memungkiri bahwa saya penulis pemula
dibandingkan cerita-cerita yang diangkat penulis bersejarah. Akan tetapi, saat
saya membaca kembali, karya Jules Verne – Pengarang Perancis, Helene Hanff, Andrea
Hirata, karya-karya mereka cenderung mempertahankan idealisme pengarangnya.
Tampak mudah bagi penulis yang telah memiliki nama untuk memasarkan karyanya.
Bagi penulis besar seperti itu selalu mudah diterima masyarakat meskipun masih
menuai pro dan kontra.
Namun, di negeri ini, karya-karya besar dunia yang mengembangkan
idealisme bahasa klasik masih susah diterima. Hal ini karena saya mendapatkan
kopian buku Penulis Dunia itu – Jules Verne – dengan harga yang relatif murah
dibandingkan karya yang terjual di luar negeri. Apa bedanya? Sama saja bukan
karya yang dianggap luar biasa di negeri orang orang tampak biasa saja di
negeri sendiri karena perbedaan tamadun.
Miris? Tentu saja. Saya sangat kecewa dengan budaya negeri yang
semakin memodernisasi gaya kekinian. Meninggalkan sastra klasik yang besar di
masanya. Salah siapa? Idealisme pengarang? Perspektif pembaca? Untuk mendapat
perhatian pembaca, apakah harus mengikuti role negeri ini, culture kekinian
yang melucuti budaya klasik dunia kepenulisan?
Saya sendiri juga memikirkan hal yang sama. Seringkali pemikian
saya semalaman dihantui hal itu. Hingga pada akhirnya meledak dan saya
menuliskan artikel ini. Saya sendiri masih merasakan perlawanan dari pemikiran
itu. Mempertahankankarya idealisme dan fantasi dari imajinasi yang lahir lalu
merangkainya dengan kalimat metaphor klasik atau hanya membalutnya dengan
bahasa ringan khas remaja milenial?
Sebenarnya mana saja tidak masalah. Perkara banyak atau sedikit
pembaca, banyak atau sedikit yang suka, itu hanya masalah selera. Ada baiknya
karya-karya sejarah dunia milik Jules Verne memang susah diterima negeri ini,
tetapi sangat populer di komunitas pencinta sastra luar negeri. Yang
membedakannya adalah sasaran dan penempatan karya itu sendiri. Yang menjadi
faktor berpengaruh lain adalah cerdik-cerdiknya penulis membaca model cerita
yang memang sesuai dengan karakter pembaca yang dibidiknya. Tidak hanya
memandang karya sebagai nilai pribadi, juga memang pemikirkan dan pandangan
pembaca diperlukan untuk penyempurnaan karya sastra itu sendiri.
Memadukan imajinasi dengan realitas adalah sebuah kontradiksi yang
menurut pandangan pribadi saya sedikit menyakitkan 😊. Tetap mengikuti perkembangan zaman untuk memenuhi kebutuhan
pembaca adalah hal yang sering diindahkan seorang editor. Sebagai penulis, hal
itu menjadi sebuah pembatas untuk menuangkan ide orisinalitas sesuai pemikiran
menjadi karya yang setengahnya menodong pemikiran dari pembaca. Jika dikatakan,
karya kita yang seperti itu hanya setengah dari pemikiran kita, seperempat
arahan editor, dan seperempatnya lagi hasil kanon yang didoktrin pandangan
pembaca. Lucunya, maka karya yang mengusung susunan seperti itu sama saja bukan
karya orisinalitas pemikiran pengarangnya, tetapi melalui banyak tuntutan.
Sinisme? Atau secara langsung sebagai Sarkasme?
Saya lebih suka mengembangkan kritis secara sinisme, meskipun
beberapa individu masih kesulitan mencernanya, termasuk saya sendiri. Menikmati
karya sastra seutuhnya tidaklah semudah itu. Apalagi memnbentuk hingga
mengembangkannya menjadi cerita utuh yang menggambarkan cerita hidup dari latar
hasil pemikiran pengarangnya sendiri. Susah? Tentu saja.
Salah model dan Sasaran pembaca kah?
Tidak juga. Disebutkan hanya perbedaan selera saja. Barangkali
karyamu tidak digandrungi di negeri ini, tetapi di negeri lain karyamu bisa
menjadi bintang dan lompatan luar biasa untuk ukuran kepopuleran karya. Coba
saja? Publikasikan karya tidak hanya di bahasa Indonesia, coba juga bahasa
lain! Dengan demikian, kamu memiliki multi kemampuan, asah diksi, asah
pengembangan alur cerita dan narasi, juga asah kemampuan bahasa. Untung bukan?
Saya sempat berpikiran saya salah karena tidak menyesuaikan
selera. Namun, perlahan saya pangkas pemikiran itu dengan sebuah ide-ide baru.
Sejak awal, sastra-sastra klasik memang panutan yang tidak bisa dihapuskan
begitu saja. Novel, cerpen, atau bahkan sajak-sajak penulis dunia selalu
mengembangkan alur yang sama. Dari berbagai genre petualangan, misteri, atau
romantic, semua pengembangan bahasanya tetap menggambarkan khas karakter
pengarangnya. Mereka bebas mengutarakan pikiran mereka, tidak berbelit-belit
menatap dasar selera pembaca. Usaha cerdik mengatasinya adalah kepiawaian
pengarang merangkai kata sehingga mampu membuat pembaca masuk dalam cerita kita
meskipun awalnya mereka tidak menyukai genre atau topik yang pengarang angkat.
Ambil saja contoh diri saya sendiri. Saya penikmat genre fantasi
dan anti dengan genre romantik. Namun, beberapa penulis menyulap genre romantic
dari sudut pandang yang berbeda dari karya yang biasa saya lihat, saya baca,
saya dengar, hingga mampu saya rasakan emosi si pengarang dalam pikiran saya.
Dari sini, saya mulai ‘jatuh cinta’ dengan sesuatu yang semula tidak saya
minati. Intinya, kepiawaian kita merangkai cerita dan plot isinya.
Bagaimana? Mudahnya, angkat cerita sebagaimana kamu menceritakan
pengalaman kehidupanmu. Abaikan sejenak peraturan, batas-batas penulisan itu.
Sebebasnya merangkai cerita sesuai apa yang kita pikirkan. Hal ini terlihat
mudah, tetapi sangat susah. Jika mampu melakukannya, suatu keadaan dimana kita
bisa jujur dengan diri kita, menikmati bahan karya yang kita susun, yang kita
rangkai, kemudian menuangkan dalam tulisan. Proses yang terasa begitu nikmat
dan membuat kita tenggelam di dalamnya, jika kamu mampu merasakan sensasi
semacam ini, maka selamat! Kamu telah melewati tantangan untuk mengatasi
kejenuhan dan kontradiksi seorang pengarang.
Namun, hingga saat ini saya masih tetap kecewa. Padanannya tetap
sama, saya memang masih pemula. Ketika saya membaca karya-karya penulis
bersejarah, saya tidak apa-apanya. Menyakitkan menyaksikan hal semacam itu,
tetapi juga mengisi kekosongan pikiran untuk mengisinya dengan hal yang
menyakitkan adalah pembelajaran yang menyenangkan. Ada masukan?
Jangan masukkan verba ‘bersyukur’ dalam komentar! Konteks ini
berbeda pembahasan. Jika ada yang ingin ditanyakan, jangan masukkan urusan
bersyukur dan menikmati jalan kehidupan. Itu sama saja kalian membohongi diri
sendiri ketika sebenarnya kalian merasa sangat terluka dan ingin begitu melampiaskan
kekecewaan itu. Jangan pikirkan kalian tidak mensyukurinya, yang ada kalian
hanya akan tambah menyesalinya. Tidak! Bukan tidak bersyukur. Kalian perlu
istirahat sebentar dari verb aitu, bukan berarti mendustakan nikmat. Kalian
hanya harus belajar jujur dengan diri sendiri. Itulah proses yang harus
dilewati tidak hanya di dunia kepenulisan, melainkan juga seluruh sendi
kehidupan.
Kembali ke dunia kepenulisan, deskripsi yang hidup saat saya
membaca karya-karya itu, cerita klasik memang cenderung menekankan metaphor
cerita. Meskipun kadang juga dijumpai bahasa yang realistis dan tidak
menggunakan diksi metaphor untuk mempercantik cerita. Titik utama hanyalah
fokus pengembangan cerita yang mampu menggaet kemampuan berimajinasi pembaca.
Ciptakan awal yang ngena di benak pembaca sehingga mampu
menarik mereka lebih dalam membaca karya kita. Jangan menggunakan deskprisi
umum! Paragraf pertama digunakan untuk mengembangkan cerita umum itu kesalahan
yang masih umum dijumpai penulis pemula.
Contoh:
Matahari bersinar cerah di pagi hari. Aku terbangung dari kasur
dan segera mandi untuk pergi ke sekolah…
Coba pikirkan, apa bagusnya membayangkan cerita yang seperti itu.
Matahari bersinar? Bangun tidur? Sikat gigi. Ah, jangan melucu ah.
Bandingkan:
Samar. Aku buka mataku dan menatap melalui pintu, aku menyadari
aku tidak tidur di kasurku di malam yang telah berlalu. Aku berada di kamar
mandi dengan seluruh bajuku… blablabla..
Tariklah sebuah kesimpulan, mana yang kira-kira menarik untuk
dibaca?
Faktanya, statisktik mengusung penelitian bahan bacaan remaja
Indonesia memberikan pukulan keras di pikiran. Tetap tidak berubah. Majas
ringan, cerita khas milenial, serta sifat yang lebih menggarap asal masalah
Remaja Indonesia yang lumrah adalah fokus yang dianggap rupawan oleh pembaca
sekarang. Karya-karya yang berkebalikan dengan karya sejarah dunia, tetap tidak
berubah… Yang berbeda hanya sekat selera.
Saya ambil pendapat pribadi. Saya sejak awal menyukai genre
fantasi dan petualangan, tidak tertarik dengan romansa anak-anak milenial.
Perbedaan selera? Intuisi dan perasaan? Juga lingkungan? Ah, jangan lupakan
pengalaman!
Cerita hidup dari perbedaan sudut pandang dan guru pengajarnya.
Siap-siap saja mengejar pemikiran yang selalu berkontradiksi di kalangan pengarang
dan pembaca khas sekarang. Jangan coba bandingkan dan mencoba jadi orang lain.
Karyamu adalah penggambaran karakter dirimu sebagai pengarang. Karyamu akan
memiliki ruang tersendiri di beberapa kalangan. Tidak harus banyak orang, satu
saja cukup. Ketika mereka setia menunggu karya kita, itulah nilai berharga yang
tidak akan pernah tergantikan oleh seluruh pengarang. Setia dengan cerita kita
tanpa harus memandang gaya cerita orang lain. Setiap pengarang memiliki unsur
dan pembentukan cerita yang berbeda dan khasnya masing-masing. Jangan
memaksakan diri! Meskipun terkadang kita perlu melampaui batas diri untuk terus
memperbaiki kualitas pribadi, jangan pernah lupa, kita tetap harus
bersenang-senang. Nikmatilah proses menulismu dan bentuklah cerita sesuai
karakter dirimu! Selalu ada tempat untuk cerita kita di hati pembaca. Selera
yang akan menjawabnya, juga kepiawaian 😊.
No comments for "Apa yang Terbaik dari Sebuah Tulisan? Perspektif Pembaca atau Idealisme Pengarang?"
Post a Comment