Eksistensi Pondok Pesantren Cetak Generasi Professional Religius di Era Globalisasi
RAIS AAM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Ma’ruf Amin, mengatakan ditetapkannya Hari Santri Nasional pada 22 Oktober bertepatan dengan lahirnya resolusi jihad. Beliau mengatakan, jihad memiliki dua makna, yakni perang dan perbaikan. Jihad perang dilakukan oleh para santri melawan para penjajah dari Indonesia. Pada era sekarang, jihad perbaikan adalah sebuah peran yang dapat dilaksanakan oleh seluruh kaum, khususnya disini adalah para santri, yakni dengan turut terlibat dalam upaya perbaikan bangsa. Dengan demikian, penetapan Hari Santri dimaksudkan sebagai wujud apresiasi atas kontribusi santri dan umat islam umumnya saat pendirian dan mempertahankan Republik Indonesia.
Dalam sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia, peran dan status santri masih dipandang sebelah mata oleh mayoritas masyarakat. Hal ini disebabkan oleh dogma yang erat di kalangan masyarakat bahwasanya status santri berhubungan dengan keadaan ekonomi kalangan bawah, representasi masyarakat sederhana dan terpinggirkan. Masyarakat akan lebih bangga apabila putra-putri mereka bersekolah di sebuah instansi bergengsi. Padahal seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mewarisi corak kepesantrenan. Perguruan tinggi sekarang tidak akan berupa, UGM, ITB, UI, IPB, UNAIR, dan lain sebagainya, melainkan mungkin Universitas Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Sidogiri, Lirboyo, dan sebagainya. Kita bisa melihat perbandingan dengan perkembangan sistem pendidikan di dunia barat yang semakin eksis dan terkenal, seperti Harvard University yang sesungguhnya awal pendiriannya adalah sebuah perguruan tinggi keagamaan yang didirikan oleh Pendeta Harvard, yang mana sekarang telah berkembang, tumbuh ternama dan berpengaruh di dunia.
Apabila ditelusuri kembali, perkembangan sejarah Indonesia juga tidak terlepas dari peran santri. Para Founding Father negeri ini adalah mayoritas para alumnus pondok pesantren. Beberapa tokoh tersebut adalah tokoh nasional yang telah dikenal sejak pembelajaran di sekolah dasar, antara lain :
- Pangeran Diponegoro yang merupakan seorang santri penganut thariqah dengan nama asli Abdul Hamid. Pangeran Diponegoro mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan Besari. Ia sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama lima tahun, 1825-1830 M.
- Douwes Dekker, tokoh Pendidikan nasional dengan nama asli Danudirja Setiabudi. Leluhurnya adalah seorang Belanda yang diutus untuk merusak Bangsa Indonesia. Namun, pemikiran dan mindsetnya berubah ketika ia berhubungan dengan para kiai dan santri, sehingga ia yang semula ingin merusak bangsa Indonesia, justru bergabung dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
- Ki Hajar Dewantara, tokoh nasional dengan nama asli Suwardi Suryaningrat yang berguru pada seorang kiai bernama Romo Kiai Sulaiman Zainudin di Kalasan, Prambanan, Yogyakarta.
- H. Moh. Hatta, putra seorang kiai dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatra Barat. Sejarah Bung Hatta adalah putra kiai dan penganut thariqah tidak pernah dijelaskan di sekolah.
Eksistensi kepesantrenan dan santri sudah saatnya tidak boleh dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, pondok pesantren adalah sebuah instansi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri dan tidak meniru dari negara lain. Sebuah wadah pendidikan murni Indonesia yang menjadi legenda hidup dan lakon yang tetap eksis hingga saat ini.
Pondok pensantren patut diapresiasi atas kiprahnya sebagai jantung pendidikan umat islam di Indonesia yang tetap eksis di zaman globalisasi. Nilai-nilai yang hidup dalam dunia pesantren merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan, rintangan, dan halangan zaman modernisasi dan westernisasi. Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, ketabahan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan. Para santri yang hidup dalam pondok pesantren akan dapat memahami pelajaran hidup secara lebih mendalam, tidak hanya terbatas teori yang diajarkan dalam sekolah formal. Nilai-nilai kehidupan mereka dapatkan dari interaksi sehari-hari mereka yang hidup dalam satu lingkungan dengan sesama santri lain. Mereka dapat menjadi individu mandiri sejak hidup jauh dari orang tuanya, dapat mengatur keuangan, serta diharapkan dapat menerapkan trisukses generasi penerus, yakni alim faqih, berakhlakul karimah, dan mandiri.
Dalam mengikuti pendidikan di pondok pesantren, santri telah terbiasa menghadapi berbagai aturan ketat dan perilaku disiplin tinggi. Sejak awal, para santri sudah dilatih dengan kebiasaan-kebiasaan yang mulai langka ditemukan di Lembaga Pendidikan formal, yakni kejujuran, kedisiplinan, kesopanan, kerja keras, pantang menyerah, mandiri, dan sebagainya. Rutinitas santri dalam mengaji juga dijadwal sedemikian rapi. Maka tidaklah heran ketika para santri telah menyelesaikan pendidikannya mereka akan kelihatan memiliki karakter diri yang kuat.
Keikhlasan para pengasuh, kiai, ustazd/ustadzah pesantren tidak ternilai harganya sehingga membuat pesantren terus berkembang walau di tengah arus globalisasi. Nilai-nilai islami yang ditanamankan pada santri dapat menjadi bekal kuat ketika mereka menghadapi dunia luar. Analogi metamorphosis ulat kepompong dan kupu-kupu dapat diibaratkan kehidupan santri.
Sebelum masuk pondok pesantren, santri ibarat ulat-ulat yang hanya mengetahui lingkungan di selembar daun yang ia tempati, di sekitar keluarganya. Namun, secara perlahan, para santri masuk pondok pesantren untuk mendapatkan berbagai Pendidikan dan pengetahuan. Masa ini diibaratkan dengan masa kepompong yang mana santri harus menetap di dalamnya, tidak dapat kemana-mana. Dia hidup dan belajar dalam penjara mujahidin yang akan memberi kemampuan sayap untuk menjelajah dunia kehidupan nantinya. Dalam masa hidup di pondok, kedisiplinan, kegigihan, ketabahan, dan kesabaran merupakan syarat untuk melewati masa kepompong untuk menjadi kupu-kupu indah. Sebab, tidak semua santri dalam masa mondok dapat tahan dengan semua syarat tersebut sehingga lebih memilih untuk meninggalkannya. Para santri yang tahan belajar di pondok akan menjadi kupu-kupu yang memiliki sayap yang indah berwarna-warni.
Hal tersebut yang menjadikan santri lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apapun, sebab mereka mempunyai spirit tinggi, berjiwa entrepreneurship, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai negeri maupun swasta. Salah satu pondok pesantren yang telah melaksanakan pembinaan khusus jiwa keentrepreneurship pada para santri yang mondok adalah di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri. Sebuah ponpes yang dikelola swadaya oleh LDII, sebuah organisasi keislaman yang terus berupaya membantu pemerintah membangun masyarakat. Dengan adanya pembinaan tersebut, diharapkan lulusan santri tidak hanya mendapat ilmu agama yang mantap, tetapi juga mendapat bekal ilmu kewirausahaan sehingga mereka tidak kehilangan arah dan memiliki pijakan ketika mereka akan membangun sebuah usaha mandiri.
Tidak ketinggalan pula pelaksanaan program perkemahan camping CAI (Cinta Alam Indonesia) yang diselenggarakan para alumnus Ponpes Budi Utomo Gadingmangu, yang setiap tahunnya berlangsung di bumi perkemahan Kosambiwojo, Jombang-Jawa Timur. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan semangat generasi muda membina kemampuan berkomunikasi, berinteraksi, dan sosialisasi, serta kerukunan, dimana kegiatan ini selalu dinanti-nanti setiap tahunnya, tidak hanya bagi alumnus Ponpes Gadingmangu, tetapi juga para remaja LDII lainnya.
LDII giat membina generasi penerus tujuannya adalah untuk menciptakan generasi yang Qurani. Dengan pembinaan ini, diharapkan para generasi Indonesia akan menjadi generasi yang professional religious yang kelak bisa membawa angin perubahan yang lebih maju bagi Bangsa Indonesia.
Saat ini, pesantren sudah seharusnya lebih dikembangkan sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Indonesia. Posisi Indonesia yang lemah dalam percaturan peradaban dunia saat ini salah satunya disebabkan karena kelemahan dimensi akademik dalam tradisi pesantren sebagai kekuatan utama penyangga kesatuan bangsa. Sebagai contoh kecil adalah banyak sekali dijumpai akademisi pesantren yang mahir dalam bidang ekonomi islam yang didasarkan pada kitab-kitab fikih namun mengalami kesulutan ketika mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari.
Problematika tersebut terjadi karena tradisi akademik pesantren yang masih belum mapan lantaran adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal sejatinya semua ilmu yang ada di bumi ini bahkan di langit, semua adalah milik Allah SWT. Mungkin saja kita lupa bahwa orang yang pertama kali mendapat julukan “sufi” adalah seorang penemu teori aljabar dan ilmuwan besar dalam bidang kimia, farmasi, dan filsafat, yaitu Jabir bin Hayyan Al-Azdi. Kekeliruan pandangan serupa juga dialami oleh Imam Al Ghazali yang dianggap ‘hanya’ ulama tasawwuf di pesantren.
Imam Syafi’I pernah berkata : “Innii ra’aitu wuquuf al-maa’I yufshiduhu, in saala thaaba wa in lam yajri lam yathib,” yang artinya “Aku melihat air bening yang diam (tidak mengalir) itu akan menghancurkan dirinya sendiri, jika ia mau mengalir maka ia akan (tetap) bersih, sementara jika ia tidak mau mengalir, maka ia tidak akan bersih.”
Dalam hal itu, barangkali pesantren adalah “kawah candradimuka” yang sudah bagus dan ideal, namun jika tidak mampu bergerak dalam rangka menjawab tantangan zaman, maka pesantren akan ditinggalkan zama. Pesantren sekarang sudah bukan saatnya lagi hanya menjadi qari’ al-tarikh (pembaca sejarah) kegemilangan ulama klasik, tetapi harus mampu menjadi shani’ al-tharikh(pencetak sejarah) itu sendiri.
No comments for "Eksistensi Pondok Pesantren Cetak Generasi Professional Religius di Era Globalisasi"
Post a Comment